Jumat, 08 Maret 2013

METRIS



DIABETES MELITUS SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA HIPERTENSI DAN GAGAL GINJAL




Disusun oleh :
1.      Desi Fathwiyati Sholihah
2.      Shabrina K.
3.      Cindy Dwijayanti
4.      Rudi Warnu
5.      Reisa
6.      Amelia Gustianasari
7.      Alif Raharjo
8.      Revronika Sianipar
9.      Novika Fuzi Fauziah
10.  Rury Advinda Putri
11.  Luthfi Adi Prasetyo
12.  Ghaida Nur Tsara



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Diabetes Melitus adalah penyakit degenerative yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan serius. Dampak penyakit tersebut akan membawa berbagai komplikasi penyakit yang serius, seperti : penyakit jantung, strok, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan sistem saraf.
            Menurut Estimasi International Diabetes Federation (IDF) terdapat 177 juta penduduk dunia menderita diabetes melitus pada tahun 2002. Jumlah penderita Diabetes Melitus dari tahun ke tahun terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi data diabetes mellitus akan meningkat menjadi 300 juta dalam 25 tahun mendatang ( Siswono, 2005). International Diabetic Federation (IDF) memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia meningkat dua kali lipat dari 2.548.000 tahun 2003 menjadi 5.210.000 penderita pada tahun 2025. WHO telah mengeluarkan isyarat bahwa akan terjadi ledakan pasien Diabetes Melitus di abad 21, dimana peningkatan tertinggi akan terjadi di kawasan ASEAN.
            Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO) Indonesia menempati urutan ke 6 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak setelah India, China, Uni Soviet, Jepang dan Brazil. Tercatat pada tahun 1995 jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai lima juta dengan peningkatan sebanyak 230 ribu pasien diabetes setiap tahunnya sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 17 juta orang (8,6 % dari jumlah penduduk). Penelitian yang dilakukan International Diabetic Federation (IDF) membuktikan sebagian besar penderita diabetes memiliki tubuh gemuk. Menurut Soegondo mengatakan salah satu masalah kesehatan yang berhubungan dengan diabetes tipe II adalah kegemukan. Diabetes tipe II tanpa tergantung pada insulin dan muncul pada usia diatas 45 tahun. WHO memastikan peningkatan penderita diabetes tipe II paling banyak akan dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagian peningkatan jumlah penderita diabetes tipe II karena kurangnya pengetahuan tentang diabetes melitus, usia harapan hidup yang semakin meningkat, diet yang kurang sehat, kegemukan serta gaya hidup modern.
            Masalah yang akan dihadapi oleh penderita Diabetes Melitus tenyata cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Pada kenyataannya banyak pasien Diabetes Melitus yang sebelum terdiagnosis Diabetes Melitus, telah terjadi kerusakan organ tubuh yang meluas seperti ginjal, saraf, mata, dan kardiovaskuler. Hal ini dapat terjadi akibat ketidak tahuan pasien sehingga terjadi keterlambatan dalam penanganannya.
            Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif dan tidak dapat dikembalikan lagi ke kondisi semula dengan akibat paling buruk adalah terjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan biaya yang sangat mahal untuk pengelolaannya. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap progresivitas nefropati diabetik menjadi gagal ginjal terminal.
            Mengingat besarnya resiko kesehatan yang dialami penderita diabetes melitus, pemerintah di negara-negara beresiko tinggi banyak populasi diabetes dianjurkan menyusun strategi penanggulangan diabetes. Mengurangi beban kerja dalam mengontrol diabetes memerlukan perencanaan intensif untuk mengatasi penyakit pada penderita dan mencegah timbulnya penyakit pada yang belum terkena. Cara yang efektif adalah meningkatkan kesehatan penduduk misalnya lewat penyuluhan pola makan yang sehat, menjaga berat badan agar tidak kegemukan, dan dorongan untuk berolahraga. Di Indonesia berdiri Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia). Kegiatan-kegiatan persadia berfokus pada diabetes, diharapkan dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya, pengenalan, pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus.
            Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah peningkatan penderita diabetes melitus yaitu dengan meningkatkan kesadaran mengenai diabetes dan komplikasi pada semua pihak masyarakat dan tenaga kesehatan lewat kampaye gaya hidup termasuk pola makanan sehat dan olahraga.


Pertanyaan Penelitian

Tujuan Penelitian
            Dengan diadakannya penelitian Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Dan Gagal Ginjal diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat mengenai penyakit diabetes melitus serta bahaya penyakit degeneratif yang menyertainya, terutama sebagai salah satu penyebab penyakit hipertensi dan gagal ginjal.
            Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai suatu bentuk karya ilmiah bagi adik kelas tahun berikutnya maupun membantu para senior tingkat akhir yang akan membuat tesis, ataupun skripsi.
Manfaat Penelitian


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

        Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme berupa hilangnya toleransi glukosa. Diabetes melitus disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.  Pada diabetes tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) terdapat defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh autoimun atau idiopatik.  Sedangkan diabetes tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes melitus (NIDDM), defisiensi insulin bersifat relatif dengan kadar insulin serum kadang biasanya normal atau mungkin bahkan meningkat, yang disebabkan kelainan dalam pengikatan insulin pada reseptor.  Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah reseptor atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik.  Selain tipe I dan tipe II, masih ada lagi jenis lain dari diabetes seperti MODY, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat, infeksi, antibodi insulin, gestasional Dm (Mansyoer, 2007; Tjokronegoro, 2002).
           Komplikasi kronis diabetes melitus (DM) terutama disebabkan gangguan integritas pembuluh darah dengan akibat penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi tersebut kebanyakan berhubungan dengan perubahan-perubahan metabolik, terutama hiperglikemia. Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas  sebagai akibat DM, dan dikenal dengan nama angiopati diabetika. Makro- angiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikro- angiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi retinopati, nefropati dan neuropati.
            Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang ditandai dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten), penurunan GFR ( glomerular filtration rate) peningkatan tekanan darah yang perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal.
            Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
            Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.
            Beberapa studi cross-sectional dan longitudinal telah mengidentifikasi adanya beberapa faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan risiko utama dari nefropati diabetik. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain  : hipertensi, glikosilasi hemoglobin, kolesterol, merokok, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein.
            Manifestasi klinis dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin.  Diagnosis awal dengan gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas.  Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi, pruritas vulva pada wanita (Mansyoer, 2007).
            Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.  Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.  Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.  Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat, dll. ((Mansyoer, 2007; Hadley, 2000).
        Sampai saat ini tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi hipertensi. Menurut JNC hipertensi terjadi apabila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (Tagor, 2003).
            Selama ini dikenal 2 jenis hipertensi, yaitu hipertensi primer yang penyebabnya tidak diketahui mencakup 90% dari kasus hipertensi, dan hipertensi sekunder yang penyebabnya diketahui. Penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain penyakit ginjal, penyakit endokrin, sters akut, obat-obatan, kelainan neurologi, dan lain-lain (Joesoef, 2003; Tagor, 2003).
            Hipertensi baru menimbulkan gejala apabila sudah menimbulkan kelainan pada organ tertentu dalam tubuh. Hipertensi didiagnosis dengan pengukuran tekanan darah.
Beberapa komplikasi yang terjadi anatara lain :
1.      retinopati hipertensif
2.      penyakit kardiovaskular
3.      penyakit serebrovaskular
4.      penyakit ginjal seperti nefrosklerosis (Joesoef, 2003; Tagor, 2003).

            Efek-Efek Dari Tekanan Darah Tinggi. Tekanan darah tinggi, atau hipertensi, adalah faktor utama pada perkembangan dari persoalan-persoalan ginjal pada orang-orang dengan diabetes. Keduanya sejarah hipertensi keluarga dan kehadiran dari hipertensi nampak meningkatkan kesempatan-kesempatan mengembangkan penyakit ginjal. Hipertensi juga mempercepat kemajuan dari penyakit ginjal ketika ia telah hadir.

            Tekanan darah direkam menggunakan dua angka-angka. Angka pertama disebut tekanan systolic, dan ia mewakili tekanan dalam arteri-arteri ketika jantung berdenyut. Angka kedua disebut tekanan diastolic, dan ia mewakili tekanan antara denyut-denyut jantung. Dahulu, hipertensi ditentukan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi 140/90, dikatakan sebagai "140 per 90".
            The ADA dan the National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasi bahwa orang-orang dengan diabetes mempertahankan tekanan darah mereka dibawah 130/80.
            Hipertensi dapat dilihat tidak hanya sebagai penyebab penyakit ginjal namun juga sebagai hasil dari kerusakan yang diciptakan oleh penyakit. Ketika penyakit ginjal maju (berlanjut), perubahan-perubahan fisik pada ginjal-ginjal menjurus pada tekanan darah yang meningkat. Oleh karenanya, spiral yang berbahaya, yang melibatkan tekanan darah yang naik dan faktor-faktor yang meningkatkan tekanan darah, terjadi. Deteksi dan perawatan dini dari bahkan hipertensi yang ringan adalah penting untuk orang-orang dengan diabetes.
            Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah proses kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan. CKD dapat menimbulkan simtoma berupalaju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD pada penderita kelainan bawaan seperti hiperoksaluria dan sistinuria.
            Gejala-gejala dari fungsi ginjal memburuk yang tidak spesifik, dan mungkin termasuk perasaan kurang sehat dan mengalami nafsu makan berkurang. Seringkali, penyakit ginjal kronis didiagnosis sebagai hasil dari skrining dari orang yang dikenal berada di risiko masalah ginjal, seperti yang dengan tekanan darah tinggi atau diabetes dan mereka yang memiliki hubungan darah dengan penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronis juga dapat diidentifikasi ketika itu mengarah ke salah satu komplikasi yang diakui, seperti penyakit kardiovaskuler, anemia atau perikarditis.
Tanda dan gejala awal gagal ginjal
            CKD awalnya tanpa gejala spesifik dan hanya dapat dideteksi sebagai peningkatan dalam serum kreatinin atau protein dalam urin. Sebagai [ginjal []] fungsi menurun:
·         Belakangan ini berkembang menjadi hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi ginjal dan kalsifikasi vaskular yang berfungsi juga mengganggu jantung.
  • Metabolik asidosis, karena akumulasi sulfat, fosfat, asam urat dll ini dapat menyebabkan aktivitas enzim diubah oleh kelebihan asam yang bekerja pada enzim dan eksitabilitas juga meningkat membran jantung dan saraf dengan promosi (hiperkalemia) karena kelebihan asam (asidemia). Orang dengan penyakit ginjal kronis menderita dipercepat aterosklerosis dan lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit kardiovaskuler daripada populasi umum. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis dan penyakit kardiovaskular cenderung memiliki prognosis lebih buruk dibanding mereka yang menderita hanya dari yang terakhir.

            Penyakit ginjal kronis diidentifikasi oleh tes darah untuk kreatinin. Tingginya tingkat kreatinin menunjukkan jatuh laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal mengekskresikan produk limbah. Kadar kreatinin mungkin normal pada tahap awal CKD, dan kondisi tersebut ditemukan jika urine (pengujian sampel urin) menunjukkan bahwa ginjal adalah memungkinkan hilangnya protein atau sel darah merah ke dalam urin. Untuk menyelidiki penyebab kerusakan ginjal, berbagai bentuk pencitraan medis, tes darah dan sering ginjal biopsi(menghapus sampel kecil jaringan ginjal) bekerja untuk mencari tahu apakah ada sebab reversibel untuk kerusakan ginjal. pedoman profesional terbaru mengklasifikasikan tingkat keparahan penyakit ginjal kronis dalam lima tahap, dengan tahap 1 yang paling ringan dan biasanya menyebabkan sedikit gejala dan tahap 5 menjadi penyakit yang parah dengan harapan hidup yang buruk jika tidak diobati. Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal ginjal kronis (CKF) atau kegagalan kronis ginjal (CRF).
Tidak ada pengobatan khusus untuk memperlambat tegas menunjukkan memburuknya penyakit ginjal kronis. Jika ada penyebab yang mendasari untuk CKD, seperti vaskulitis, ini dapat diobati secara langsung dengan pengobatan bertujuan untuk memperlambat kerusakan. Pada tahap yang lebih maju, pengobatan mungkin diperlukan untuk anemia dan penyakit tulang. CKD parah memerlukan salah satu bentuk terapi penggantian ginjal, ini mungkin merupakan bentuk dialisis, tetapi idealnya merupakan transplantasi ginjal.
            Penyakit ginjal diabetic memakan waktu bertahun-tahun untuk berkembang. Pada beberapa orang-orang, fungsi penyaringan dari ginjal-ginjal sebenarnya lebih tinggi daripada normal pada beberapa tahun pertama dari diabetes mereka.
            Melalui beberapa tahun, orang-orang yang mengembangkan penyakit ginjal akan mempunyai jumlah-jumlah yang kecil dari protein darah albumin yang mulai bocor kedalam urin mereka. Stadium pertama dari penyakit ginjal kronis ini disebutmicroalbuminuria. Fungsi penyaringan ginjal biasanya tetap normal selama periode ini.
            Ketika penyakitnya maju (berlanjut), lebih banyak albumin bocor kedalam urin. Stadium ini mungkin disebut macroalbuminuria atau proteinuria. Ketika jumlah albumin dalam urin meningkat, fungsi penyaringan ginjal biasanya mulai merosot. Tubuh menahan berbagai pembuangan-pembuangan karena penyaringan gagal. Ketika kerusakan ginjal berkembang, tekanan darah seringkali juga naik.
            Secara keseluruhan, kerusakan ginjal jarang terjadi pada 10 tahun pertama dari diabetes, dan biasanya 15 sampai 25 tahun akan berlalu sebelum gagal ginjal terjadi. Untuk orang-orang yang hidup dengan diabetes lebih dari 25 tahun tanpa segala tanda-tanda dari gagal ginjal, risiko pernah mengembangkannya berkurang.
Diagnosis Dari Penyakit Ginjal Kronis
            Orang-orang dengan diabetes harus disaring secara teratur untuk penyakit ginjal. Dua penanda-penanda kunci untuk penyakit ginjal adalah eGFRM dan albumin urin.
            eGFR adalah singkatan unutk estimated glomerular filtration rate. Setiap ginjal mengandung kira-kira 1 juta filter-filter yang kecil terbentuk dari pembuluh-pembuluh darah. Filter-filter ini disebut glomeruli. Fungsi ginjal dapat diuji dengan memperkirakan berapa banyak darah glomeruli menyaringnya dalam satu menit. Kalkulasi dari eGFR berdasarkan pada jumlah dari creatinine, produk pembuangan, ditemukan dalam sample darah. Ketika tingkat creatinine naik, eGFR turun. Penyakit ginjal hadir ketika eGFR kurang dari 60 mililiter per menit.
The American Diabetes Association (ADA) dan the National Institutes of Health (NIH) merekomendasi bahwa eGFR dihitung dari serum creatinine paling sedikit sekali dalam setahun pada semua orang-orang dengan diabetes.
            Albumin urin diukur dengan membandingkan jumlah albumin pada jumlah creatinine pada sample urin tunggal. Jika ginjal-ginjal adalah sehat, urin akan mengandung jumlah-jumlah yang besar dari creatinine namun hampir tidak ada albumin. Bahkan peningkatan yang kecil pada rasio dari albumin pada creatinine adalah tanda dari kerusakan ginjal.
            Penyakit ginjal hadir jika urin mengandung lebih dari 30 miligram albumin per gram creatinine, dengan atau tanpa eGFR yang berkurang.
            The ADA dan the NIH merekomendasi penilaian tahunan dari ekskresi albumin urin untuk menilai kerusakan ginjal pada semua orang-orang dengan diabetes tipe 2 dan orang-orang yang telah mempunyai diabetes tipe 1 untuk 5 tahun atau lebih. Jika penyakit ginjal terdeteksi, ia harus diarahkan sebagai bagian dari pendekatan yang komprehensif pada perawatan dari diabetes.
Metode Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif dengan metode kualitatif. Penelitian diskriptif bertujuan untuk memaparkan peristiwa urgen yang terjadi pada masa kini.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 08 Maret 2013

METRIS



DIABETES MELITUS SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA HIPERTENSI DAN GAGAL GINJAL




Disusun oleh :
1.      Desi Fathwiyati Sholihah
2.      Shabrina K.
3.      Cindy Dwijayanti
4.      Rudi Warnu
5.      Reisa
6.      Amelia Gustianasari
7.      Alif Raharjo
8.      Revronika Sianipar
9.      Novika Fuzi Fauziah
10.  Rury Advinda Putri
11.  Luthfi Adi Prasetyo
12.  Ghaida Nur Tsara



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Diabetes Melitus adalah penyakit degenerative yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan serius. Dampak penyakit tersebut akan membawa berbagai komplikasi penyakit yang serius, seperti : penyakit jantung, strok, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan sistem saraf.
            Menurut Estimasi International Diabetes Federation (IDF) terdapat 177 juta penduduk dunia menderita diabetes melitus pada tahun 2002. Jumlah penderita Diabetes Melitus dari tahun ke tahun terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi data diabetes mellitus akan meningkat menjadi 300 juta dalam 25 tahun mendatang ( Siswono, 2005). International Diabetic Federation (IDF) memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia meningkat dua kali lipat dari 2.548.000 tahun 2003 menjadi 5.210.000 penderita pada tahun 2025. WHO telah mengeluarkan isyarat bahwa akan terjadi ledakan pasien Diabetes Melitus di abad 21, dimana peningkatan tertinggi akan terjadi di kawasan ASEAN.
            Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO) Indonesia menempati urutan ke 6 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak setelah India, China, Uni Soviet, Jepang dan Brazil. Tercatat pada tahun 1995 jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai lima juta dengan peningkatan sebanyak 230 ribu pasien diabetes setiap tahunnya sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 17 juta orang (8,6 % dari jumlah penduduk). Penelitian yang dilakukan International Diabetic Federation (IDF) membuktikan sebagian besar penderita diabetes memiliki tubuh gemuk. Menurut Soegondo mengatakan salah satu masalah kesehatan yang berhubungan dengan diabetes tipe II adalah kegemukan. Diabetes tipe II tanpa tergantung pada insulin dan muncul pada usia diatas 45 tahun. WHO memastikan peningkatan penderita diabetes tipe II paling banyak akan dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagian peningkatan jumlah penderita diabetes tipe II karena kurangnya pengetahuan tentang diabetes melitus, usia harapan hidup yang semakin meningkat, diet yang kurang sehat, kegemukan serta gaya hidup modern.
            Masalah yang akan dihadapi oleh penderita Diabetes Melitus tenyata cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Pada kenyataannya banyak pasien Diabetes Melitus yang sebelum terdiagnosis Diabetes Melitus, telah terjadi kerusakan organ tubuh yang meluas seperti ginjal, saraf, mata, dan kardiovaskuler. Hal ini dapat terjadi akibat ketidak tahuan pasien sehingga terjadi keterlambatan dalam penanganannya.
            Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif dan tidak dapat dikembalikan lagi ke kondisi semula dengan akibat paling buruk adalah terjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan biaya yang sangat mahal untuk pengelolaannya. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap progresivitas nefropati diabetik menjadi gagal ginjal terminal.
            Mengingat besarnya resiko kesehatan yang dialami penderita diabetes melitus, pemerintah di negara-negara beresiko tinggi banyak populasi diabetes dianjurkan menyusun strategi penanggulangan diabetes. Mengurangi beban kerja dalam mengontrol diabetes memerlukan perencanaan intensif untuk mengatasi penyakit pada penderita dan mencegah timbulnya penyakit pada yang belum terkena. Cara yang efektif adalah meningkatkan kesehatan penduduk misalnya lewat penyuluhan pola makan yang sehat, menjaga berat badan agar tidak kegemukan, dan dorongan untuk berolahraga. Di Indonesia berdiri Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia). Kegiatan-kegiatan persadia berfokus pada diabetes, diharapkan dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya, pengenalan, pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus.
            Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah peningkatan penderita diabetes melitus yaitu dengan meningkatkan kesadaran mengenai diabetes dan komplikasi pada semua pihak masyarakat dan tenaga kesehatan lewat kampaye gaya hidup termasuk pola makanan sehat dan olahraga.


Pertanyaan Penelitian

Tujuan Penelitian
            Dengan diadakannya penelitian Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Dan Gagal Ginjal diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat mengenai penyakit diabetes melitus serta bahaya penyakit degeneratif yang menyertainya, terutama sebagai salah satu penyebab penyakit hipertensi dan gagal ginjal.
            Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai suatu bentuk karya ilmiah bagi adik kelas tahun berikutnya maupun membantu para senior tingkat akhir yang akan membuat tesis, ataupun skripsi.
Manfaat Penelitian


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

        Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme berupa hilangnya toleransi glukosa. Diabetes melitus disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.  Pada diabetes tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) terdapat defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh autoimun atau idiopatik.  Sedangkan diabetes tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes melitus (NIDDM), defisiensi insulin bersifat relatif dengan kadar insulin serum kadang biasanya normal atau mungkin bahkan meningkat, yang disebabkan kelainan dalam pengikatan insulin pada reseptor.  Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah reseptor atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik.  Selain tipe I dan tipe II, masih ada lagi jenis lain dari diabetes seperti MODY, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat, infeksi, antibodi insulin, gestasional Dm (Mansyoer, 2007; Tjokronegoro, 2002).
           Komplikasi kronis diabetes melitus (DM) terutama disebabkan gangguan integritas pembuluh darah dengan akibat penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi tersebut kebanyakan berhubungan dengan perubahan-perubahan metabolik, terutama hiperglikemia. Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas  sebagai akibat DM, dan dikenal dengan nama angiopati diabetika. Makro- angiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikro- angiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi retinopati, nefropati dan neuropati.
            Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang ditandai dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten), penurunan GFR ( glomerular filtration rate) peningkatan tekanan darah yang perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal.
            Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
            Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.
            Beberapa studi cross-sectional dan longitudinal telah mengidentifikasi adanya beberapa faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan risiko utama dari nefropati diabetik. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain  : hipertensi, glikosilasi hemoglobin, kolesterol, merokok, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein.
            Manifestasi klinis dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin.  Diagnosis awal dengan gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas.  Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi, pruritas vulva pada wanita (Mansyoer, 2007).
            Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.  Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.  Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.  Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat, dll. ((Mansyoer, 2007; Hadley, 2000).
        Sampai saat ini tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi hipertensi. Menurut JNC hipertensi terjadi apabila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (Tagor, 2003).
            Selama ini dikenal 2 jenis hipertensi, yaitu hipertensi primer yang penyebabnya tidak diketahui mencakup 90% dari kasus hipertensi, dan hipertensi sekunder yang penyebabnya diketahui. Penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain penyakit ginjal, penyakit endokrin, sters akut, obat-obatan, kelainan neurologi, dan lain-lain (Joesoef, 2003; Tagor, 2003).
            Hipertensi baru menimbulkan gejala apabila sudah menimbulkan kelainan pada organ tertentu dalam tubuh. Hipertensi didiagnosis dengan pengukuran tekanan darah.
Beberapa komplikasi yang terjadi anatara lain :
1.      retinopati hipertensif
2.      penyakit kardiovaskular
3.      penyakit serebrovaskular
4.      penyakit ginjal seperti nefrosklerosis (Joesoef, 2003; Tagor, 2003).

            Efek-Efek Dari Tekanan Darah Tinggi. Tekanan darah tinggi, atau hipertensi, adalah faktor utama pada perkembangan dari persoalan-persoalan ginjal pada orang-orang dengan diabetes. Keduanya sejarah hipertensi keluarga dan kehadiran dari hipertensi nampak meningkatkan kesempatan-kesempatan mengembangkan penyakit ginjal. Hipertensi juga mempercepat kemajuan dari penyakit ginjal ketika ia telah hadir.

            Tekanan darah direkam menggunakan dua angka-angka. Angka pertama disebut tekanan systolic, dan ia mewakili tekanan dalam arteri-arteri ketika jantung berdenyut. Angka kedua disebut tekanan diastolic, dan ia mewakili tekanan antara denyut-denyut jantung. Dahulu, hipertensi ditentukan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi 140/90, dikatakan sebagai "140 per 90".
            The ADA dan the National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasi bahwa orang-orang dengan diabetes mempertahankan tekanan darah mereka dibawah 130/80.
            Hipertensi dapat dilihat tidak hanya sebagai penyebab penyakit ginjal namun juga sebagai hasil dari kerusakan yang diciptakan oleh penyakit. Ketika penyakit ginjal maju (berlanjut), perubahan-perubahan fisik pada ginjal-ginjal menjurus pada tekanan darah yang meningkat. Oleh karenanya, spiral yang berbahaya, yang melibatkan tekanan darah yang naik dan faktor-faktor yang meningkatkan tekanan darah, terjadi. Deteksi dan perawatan dini dari bahkan hipertensi yang ringan adalah penting untuk orang-orang dengan diabetes.
            Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah proses kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan. CKD dapat menimbulkan simtoma berupalaju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD pada penderita kelainan bawaan seperti hiperoksaluria dan sistinuria.
            Gejala-gejala dari fungsi ginjal memburuk yang tidak spesifik, dan mungkin termasuk perasaan kurang sehat dan mengalami nafsu makan berkurang. Seringkali, penyakit ginjal kronis didiagnosis sebagai hasil dari skrining dari orang yang dikenal berada di risiko masalah ginjal, seperti yang dengan tekanan darah tinggi atau diabetes dan mereka yang memiliki hubungan darah dengan penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronis juga dapat diidentifikasi ketika itu mengarah ke salah satu komplikasi yang diakui, seperti penyakit kardiovaskuler, anemia atau perikarditis.
Tanda dan gejala awal gagal ginjal
            CKD awalnya tanpa gejala spesifik dan hanya dapat dideteksi sebagai peningkatan dalam serum kreatinin atau protein dalam urin. Sebagai [ginjal []] fungsi menurun:
·         Belakangan ini berkembang menjadi hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi ginjal dan kalsifikasi vaskular yang berfungsi juga mengganggu jantung.
  • Metabolik asidosis, karena akumulasi sulfat, fosfat, asam urat dll ini dapat menyebabkan aktivitas enzim diubah oleh kelebihan asam yang bekerja pada enzim dan eksitabilitas juga meningkat membran jantung dan saraf dengan promosi (hiperkalemia) karena kelebihan asam (asidemia). Orang dengan penyakit ginjal kronis menderita dipercepat aterosklerosis dan lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit kardiovaskuler daripada populasi umum. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis dan penyakit kardiovaskular cenderung memiliki prognosis lebih buruk dibanding mereka yang menderita hanya dari yang terakhir.

            Penyakit ginjal kronis diidentifikasi oleh tes darah untuk kreatinin. Tingginya tingkat kreatinin menunjukkan jatuh laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal mengekskresikan produk limbah. Kadar kreatinin mungkin normal pada tahap awal CKD, dan kondisi tersebut ditemukan jika urine (pengujian sampel urin) menunjukkan bahwa ginjal adalah memungkinkan hilangnya protein atau sel darah merah ke dalam urin. Untuk menyelidiki penyebab kerusakan ginjal, berbagai bentuk pencitraan medis, tes darah dan sering ginjal biopsi(menghapus sampel kecil jaringan ginjal) bekerja untuk mencari tahu apakah ada sebab reversibel untuk kerusakan ginjal. pedoman profesional terbaru mengklasifikasikan tingkat keparahan penyakit ginjal kronis dalam lima tahap, dengan tahap 1 yang paling ringan dan biasanya menyebabkan sedikit gejala dan tahap 5 menjadi penyakit yang parah dengan harapan hidup yang buruk jika tidak diobati. Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal ginjal kronis (CKF) atau kegagalan kronis ginjal (CRF).
Tidak ada pengobatan khusus untuk memperlambat tegas menunjukkan memburuknya penyakit ginjal kronis. Jika ada penyebab yang mendasari untuk CKD, seperti vaskulitis, ini dapat diobati secara langsung dengan pengobatan bertujuan untuk memperlambat kerusakan. Pada tahap yang lebih maju, pengobatan mungkin diperlukan untuk anemia dan penyakit tulang. CKD parah memerlukan salah satu bentuk terapi penggantian ginjal, ini mungkin merupakan bentuk dialisis, tetapi idealnya merupakan transplantasi ginjal.
            Penyakit ginjal diabetic memakan waktu bertahun-tahun untuk berkembang. Pada beberapa orang-orang, fungsi penyaringan dari ginjal-ginjal sebenarnya lebih tinggi daripada normal pada beberapa tahun pertama dari diabetes mereka.
            Melalui beberapa tahun, orang-orang yang mengembangkan penyakit ginjal akan mempunyai jumlah-jumlah yang kecil dari protein darah albumin yang mulai bocor kedalam urin mereka. Stadium pertama dari penyakit ginjal kronis ini disebutmicroalbuminuria. Fungsi penyaringan ginjal biasanya tetap normal selama periode ini.
            Ketika penyakitnya maju (berlanjut), lebih banyak albumin bocor kedalam urin. Stadium ini mungkin disebut macroalbuminuria atau proteinuria. Ketika jumlah albumin dalam urin meningkat, fungsi penyaringan ginjal biasanya mulai merosot. Tubuh menahan berbagai pembuangan-pembuangan karena penyaringan gagal. Ketika kerusakan ginjal berkembang, tekanan darah seringkali juga naik.
            Secara keseluruhan, kerusakan ginjal jarang terjadi pada 10 tahun pertama dari diabetes, dan biasanya 15 sampai 25 tahun akan berlalu sebelum gagal ginjal terjadi. Untuk orang-orang yang hidup dengan diabetes lebih dari 25 tahun tanpa segala tanda-tanda dari gagal ginjal, risiko pernah mengembangkannya berkurang.
Diagnosis Dari Penyakit Ginjal Kronis
            Orang-orang dengan diabetes harus disaring secara teratur untuk penyakit ginjal. Dua penanda-penanda kunci untuk penyakit ginjal adalah eGFRM dan albumin urin.
            eGFR adalah singkatan unutk estimated glomerular filtration rate. Setiap ginjal mengandung kira-kira 1 juta filter-filter yang kecil terbentuk dari pembuluh-pembuluh darah. Filter-filter ini disebut glomeruli. Fungsi ginjal dapat diuji dengan memperkirakan berapa banyak darah glomeruli menyaringnya dalam satu menit. Kalkulasi dari eGFR berdasarkan pada jumlah dari creatinine, produk pembuangan, ditemukan dalam sample darah. Ketika tingkat creatinine naik, eGFR turun. Penyakit ginjal hadir ketika eGFR kurang dari 60 mililiter per menit.
The American Diabetes Association (ADA) dan the National Institutes of Health (NIH) merekomendasi bahwa eGFR dihitung dari serum creatinine paling sedikit sekali dalam setahun pada semua orang-orang dengan diabetes.
            Albumin urin diukur dengan membandingkan jumlah albumin pada jumlah creatinine pada sample urin tunggal. Jika ginjal-ginjal adalah sehat, urin akan mengandung jumlah-jumlah yang besar dari creatinine namun hampir tidak ada albumin. Bahkan peningkatan yang kecil pada rasio dari albumin pada creatinine adalah tanda dari kerusakan ginjal.
            Penyakit ginjal hadir jika urin mengandung lebih dari 30 miligram albumin per gram creatinine, dengan atau tanpa eGFR yang berkurang.
            The ADA dan the NIH merekomendasi penilaian tahunan dari ekskresi albumin urin untuk menilai kerusakan ginjal pada semua orang-orang dengan diabetes tipe 2 dan orang-orang yang telah mempunyai diabetes tipe 1 untuk 5 tahun atau lebih. Jika penyakit ginjal terdeteksi, ia harus diarahkan sebagai bagian dari pendekatan yang komprehensif pada perawatan dari diabetes.
Metode Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif dengan metode kualitatif. Penelitian diskriptif bertujuan untuk memaparkan peristiwa urgen yang terjadi pada masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar